Politik Luar Negeri Negara Khilafah

Eksistensi suatu negara akan nampak dalam kiprahnya dipercaturan politik internasional. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, Cina, Jepang adalah beberapa negara yang saat ini sangat menonjol keberadaannya di dunia internasional. Beberapa konflik kawasan, baik di Timur Tengah, Balkan, Afrika, Asia dan Amerika Latin tidak pernah terlepas dari peran negara-negara di atas. Tentunya hal ini menunjukkan negara-negara tersebut merupakan negara yang pada saat ini memiliki power di mata negara-negara lain

Lain halnya dengan negara-negara Muslim. Mereka adalah negara-negara yang senantiasa menjadi objek dari “negara-negara besar” di atas. Indonesia, Saudi Arabia, Iran, Mesir, dan Pakistan walaupun memiliki kapabilitas politik yang tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat dkk., namun eksistensinya dipandang sebelah mata dalam percaturan politik dunia. Mereka malah selalu tunduk dibawah ketiak negara-negara “Barat”. Tidak punya pendirian, dan wait and see apa kata negara-negara “Besar”. Khawatir kalau bersikap lebih dulu akan bertentangan dengan “Tuan Besar”. Padahal mereka Muslim, yang nota bene memiliki karakteristik yang khas yang mestinya berbeda dengan negara-negara Barat.

Islam memiliki konsep yang khas dalam masalah politik internasional, dan kerangka politik internasional ini inheren dalam sistem Islam yang utuh pada sistem negara Islam (Khilafah Islam). Karena politik internasional atau politik luar negeri adalah bagian dari politik Islam, dan politik Islam adalah bagian dari sistem Negara Islam (Khilafah Islam). Sehingga dalam kerangka inilah kita berbicara politik luar negeri Islam, bukan dalam konteks politik luar negeri negara-negara Muslim yang saat ini ada, karena mereka tidak menerapkan Islam secara utuh dalam sistem kenegaraannya.

Setidaknya ada enam hal yang bisa kita bandingkan untuk bisa mendapatkan kekhasan politik luar negeri Khilafah. dasar atau asas Politik Luar Negeri, metodologi Politik Luar Negeri, cara pengembanan Politik Luar Negeri, pelaksana Politik Luar Negeri, pandangan terhadap negara lain, serta hubungan dengan lembaga internasional.

Asas Politik Luar Negeri

Umumnya, sistem negara bangsa berlandaskan sekularisme. Berdasarkan sejarah, sekularisme mendapati bentuk konkretnya pada masa renaissance di Eropa. Saat itu terjadi pergolakan antara kaum gerejawan yang berkuasa atas nama Tuhan dengan para ilmuwan yang menolak penguasaan Gereja. Akhirnya, manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan gereja, baik dalam bidang agama –dalam bentuk dogma keagamaan– maupun dalam bidang sosial politik. Yaitu munculnya gagasan mengenai perlunya adanya kebebasan beragama serta garis pemisah yang tegas antara agama dan keduniawian, khususnya dalam bidang pemerintahan. Ini dinamakan “Pemisahan antara Gereja dan Negara” (Budiardjo, 1998:55) Pemisahan inilah yang dikenal dengan sekularisme.

Kebangkitan sekularisme berdampingan dengan hadirnya teori Machiavelli. Teori ini menyebutkan bahwa tidaklah realistis mengandaikan bahwa ‘penguasa-penguasa tertinggi’ (princes) harus baik. Adakalanya mereka harus tidak baik. Kebutuhan-kebutuhan akan kehidupan politik sering mengharuskan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum moral. Penguasa tertinggi dari teori ini berkuasa karena mereka lihai dalam memanipulasi kekuasaan (Apter, 1996:76). Maka politik luar negeri negara-negara Barat, sesuai dengan asas negaranya, dibangun atas landasa sekularisme.

Islam tidak mengenal pemisahan antara rohaniawan dan negarawan sebagaimana yang dikenal dalam sekularisme. Semua penganut agama Islam dinamakan muslim. Setiap muslim mesti memahami ajaran-ajaran Islam baik dalam kehidupan pribadi, maupun dalam kehidupan sosialnya.

Seorang negarawan mesti mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam aktivitasnya sebagaimana seorang ulama yang juga harus mengawasi kehidupan bernegara. Karenanya tidak ada pemisahan antara Islam dengan negara. Bahkan Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah negara. (Kurnia, 2002:14)

Aqidah Islam ‘Laa ilaha illa Allah, Muhammad rasulullah’ telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum muslimin, menjadi pandangan hidup yang khas, menjadi asas dalam menyingkirkan kedzaliman dan menyelesaikan perselihan, menjadi asas dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, menjadi asas bagi aktivitas dan kurikulum pendidikan, menjadi asas dalam membangun kekuatan militer, menjadi asas dalam politik dalam dan luar negeri.

Tidak hanya itu Islam mewajibkan jihad fi sabilillah untuk menyebarluaskan Islam kepada seluruh umat manusia. Sabda Rosulullah SAW:

“Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Apabila mereka mengakuinya maka darah dan harta mereka terpilihara dariku, kecuali dengan yang hak, jika melanggar syara”

Islam juga telah memposisikan keberlangsungan aqidah Islam sebagai asas negara. Dengan demikian Islam memerintahkan kaum muslimin yang tengah hidup di dalam negera Khilafah Islamiyah untuk mengangkat pedang (merubah secara fisik) apabila muncul kekufuran secara terang-terangan dan teradapat upaya untuk merubah asas negara dan kekuasaan dengan selain aqidah Islam. Sabda Rosulullah SAW:’ (Dan) hendaklah kita tidak merampas kekuasaan dari yang berhak, kecuali (sabda Rosulullah SAW) apabila kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti (tentang kekufuran itu ) dari sisi Allah” (HR Bukhari dan Muslim)

Hal diatas menunjukkan bahwa Khilafah Islam adalah negara yang dibangun dan berdiri diatas landasan mabda (ideologi). Dijadikannya aqidah Islam sebagai asas negara dan kekuasaan bukan sekedar formalitas atau simbol saja. Melainkan harus tampak dalam seluruh bentuk interaksi masyrakat dan negaranya. Oleh kerena itu negara Khilafah tidak membiarkan (mentolerir)seluruh bentuk pemikiran maupun hukum /perundang-undangan kecuali terpancar dari aqidah Islam.

Perbandingan Metodologi

Aqidah Islam ini menjadi dasar bagi mabda (ideologi) yang mengharuskan negara Khilafah Islam untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Penyebarluasan dakwah Islam oleh negara Khilafah merupakan asas negara Khilafah dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain. Dengan kata lain, penyebaraluasan dakwah Islam merupakan prinsip politik luar negeri negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Pada semua bidang itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakan.

Adapun yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip hubungan luar negeri adalah kenyataan bahwa Rosulullah Saw diutus untuk seluruh umat manusia. Allah Swt berfirman:

”Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan’ (TQS. Saba'[34]:28)

“Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (TQS. al-A’raaf [7]: 158)

Semua ini menunjukkan prinsip politik luar negeri Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.

Negara-negara Barat, berkiprah dalam politik internasional tentunya dalam peranannya untuk menyebarluaskan ide-ide sekularisme, demokratisasi, isu HAM, dll.

Amerika Serikat mulai menyebarkan Kapitalisme sejak dia tampil di panggung dunia sebagai negara penjajah. Metode yang digunakannya untuk menyebarkan Kapitalisme adalah dengan melakukan penjajahan (imperalisme), baik penjajahan gaya lama maupun gaya baru. (Zalluum, 1996: 4)

Berdasarkan kesadaran AS dan Barat terhadap hakekat ini, maka sebenarnya sasaran utama serangan AS tak lain adalah, umat Islam. Sekalipun, serangan AS memang tetap bersifat universal.

Memang, serangan AS ini mempunyai motif-motif lain, seperti kerakusan serta ketamakan Amerika dan Barat yang kapitalistis terhadap sumber daya alam di negeri-negeri Islam dan posisi geografisnya yang amat strategis dan istimewa. Juga adanya potensi negeri-negeri Islam itu sebagai pasar raksasa bagi produk-produk Barat dan sumber bahan mentah utama bagi industri mereka, di samping adanya deposit-deposit minyak bumi yang melimpah-ruah, dan sangat vital bagi kelangsungan hidup Barat. (Zalluum, 1996: 11-12)

Cara Penyebaran Ideologi

Negara Khilafah Islam menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (thoriqoh) tertentu yang tidak berubah, yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah meskipun para penguasa Negara Islam berganti. Metode ini tidak berubah sejak Rosulullah Saw mendirikan Negara di Madinah, sampai keruntuhan Khilafah Islam.

Jihad yaitu menyingkirkan penguasa-penguasa dholim dan institusi pemerintahan yang menghalangi dakwah Islam, sehingga dakwah Islam dapat sampai ke rakyat secara terbuka dan mereka melihat dan merasakan keadilan Islam secara langsung, merasa tentram dan nyaman hidup di bawah kekuasaan Islam. Rakyat diajak memeluk Islam dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan tekanan. Dengan penerapan hukum Islam inilah, berjuta-juta manusia di dunia, tertarik dan memeluk agama Islam.

Salah satu tuduhan keji yang dilontarkan oleh Barat kepada Islam, adalah bahwa Islam disebarluaskan dengan darah dan peperangan. Mereka gambarkan pejuang-pejuang Islam dengan pedang di tangan kanan dan Al Qur’an di tangan kiri. Memang metode penyebaran Islam adalah dengan cara jihad (perang). Namun perang bukanlah langkah pertama yang dilakukan Negara Khilafah Islam. Negara Khilafah tidak pernah memulai peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali telah disampaikan kepada mereka tiga pilihan. Pilihan pertama, memeluk Islam. Kedua membayar jizyah, artinya mereka tunduk kepada Negara Khilafah Islam berikut aturan-aturannya. Jika dua pilihan ini ditolak, langkah terakhir adalah dengan memerangi mereka. Sabda Rosulllah Saw melalui Buraidah r.a, yang berkata:

‘Rosulullah Saw, apabila memerintahkan komandan perangnya (berperang), beliau menasehatinya- terutama- supaya bertakwa kepada Allah dan-semoga- kaum muslimin yang turut bersamanya dalam keadaan baik, kemudian bersabda:’…Jika engkau berjumpa dengan kaum musyrik berikanlah kepada mereka tiga pilihan atau kesempatan- bila mereka menyambut,terimalah- dan cukuplah atas apa yang mereka lakukan : (yaitu) serulah mereka kepada Islam, jika mereka menyambutnya maka terimalah dan cukuplah dari yang mereka utarakan. Kemudian serulah mereka supaya berpindah ke negeri Muhajirin. Apabila mereka menolak pindah, beritahukan bahwa mereka – kedudukannya- seperti orang-orang Arab Muslim yang berlaku juga hukum Allah sebagaimana terhadap orang-orang mukmin. Mereka tidak memperoleh ghanimah dan fa’i kecuali turut serta berjihad dengan kaum muslimin. Namun jika mereka menolak (pilihan pertama) ini maka pungutlah jizyah. Dan bila mereka menyambutnya, terimalah dan cukuplah dari yang mereka utarakan. Akan tetapi jika mereka menolak juga (pilihan kedua), maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.” (HR Muslim)

Kekejian justru nampak dalam politik luar negeri negara-negara Barat. Dengan slogan-slogannya yang menipu dan ambivalen (standar ganda), mereka memalsukan niat busuk mereka dengan kata-kata indah. Penjajahan ekonomi dinamai ‘konsep perdagangan bebas’ dan ‘pasar bebas’, padahal prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan pendapatan negara-negara Barat Penjajahan politik disebut dengan demokratisasi, selain itu juga didukung dengan penciptaan wilayah-wilayah konflik seperti di Timur Tengah, Balkan, Amerika Latin dan Asia. Semuanya dalam konteks mengobarkan perang berkepanjangan di sana dan tetap dipertahankan sebagai kawasan yang bergolak, rawan konflik dan menyibukkan negara-negara sekitarnya. Kebusukan prilaku dibalut dengan topeng pluralisme dan hak asasi manusia dengan ide-ide kebebasannya. baik itu kebebasan dalam berpendapat, beragama, berbusana dan banyak lagi.

Pelaksana Hubungan Luar Negeri

Islam memandang, hubungan dengan negara-negara luar dibatasi dalam ruang lingkup negara. Bagi individu-individu atau partai-partai sama sekali dilarang melakukan hubungan dengan negara manapun. Meskipun demikian mereka berhak berdiskusi, mengkritik negara dan menyampaikan pendapat kepada negara dalam hubungannya dengan negara luar. Rasulullah saw misalnya secara langsung pernah membuat ikatan perjanjian, perdamaian, pernyataan perang, dan melakukan korespondensi (surat-menyurat) ke luar negeri. Demikian pula yang dilakukan para khalifah sesudahnya.

Dalam perspektif Barat, hubungan internasional tidak hanya meliputi interaksi yang berlangsung antarnegara, tetapi juga mencakup segala macam hubungan antarbangsa, kelompok-kelompok bangsa dan individu dalam masyarakat dunia dan kekuatan-kekuatan, tekanan-tekanan, dan proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak, dan cara berfikir manusia (Wiriaatmadja, 1988:36). Maka studi hubungan internasional mengacu pada segala bentuk interaksi antara aktor-aktor, baik yang bersifat negara (state) maupun non-negara (non-state).

Pandangan Terhadap Negera Lain

Islam telah membagi dunia ini atas dua katagori, yaitu Darul Islam dan Darul Kufur atau Darul Harb. Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang didalamnya diterapkan sistem hukum Islam dan keamananya diberlakukan keamanan Islam. Sebaliknya, Darul Kufur adalah wilayah atau negeri yang didalamnya diterapkan sistem hukum kufur dan keamanannya bukan menggunakan sistem keamanan Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah non Islam (lihat kitab Mitsaqul Ummah)

Dasar pembagian ini adalah Hadits Rosulullah Saw. Dalam hadits riwayat Sulaiman bin Buraidah disebutkan Sabda Rosulullah Saw:

“Serulah mereka kepada Islam, apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka (yang merupakan darul kufr) ke Darul Muhajirin (Darul Islam yang berpusat di Madinah); dan beritahulah pada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang di dapatkan oleh kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban Muhajirin”

Hadits ini adalah sebuah nash yang mensyaratkan keharusan berpindah ke Darul Muhajirin, agar mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan kewajiban warga Darul Muhajirin. Darul Muhajirin adalah Darul Islam, sedangkan selainnya adalah Darul Harb. Karena itulah, orang-orang yang telah masuk Islam diminta berhijrah ke Darul Islam, agar diterapkan atas mereka hukum-hukum Darul Islam; dan apabila mereka tidak berpindah maka hukum-hukum Darul Islam tidak bisa diterapkan atas mereka, dengan kata lain yang diterapkan adalah hukum-hukum Darul Kufur.

Disamping itu, istilah Darul Kufr dan Darul Islam, kedua-duanya adalah istilah syara’. Sebab, kata ‘Daar’ tersebut disandarkan kepada Islam dan Harb atau Kufur- bukan muslimin dan kuffar. Penyandaran Daar kepada Islam berarti al-Hukm (pemerintah) dan al-Amaan (keamanan) pada sebuah Negara. Maka, Darul Islam mengandung arti bahwa yang memerintah dalam sebuah Negara adalah agama Islam. Dan jika agama yang memerintah dalam sebuah Negara, berarti kekuasaan dan keamanan adalah dalam naungan agama. Semua ini menunjukkan bukti bahwa dunia secara keseluruhan hanya terdiri dari Darul Islam dan Darul Kufur.

Atas dasar itulah, politik luar negeri hanya bisa diartikan sebagai hubungan Negara Islam dengan Negara-negara yang dianggap Daurl Kufur- baik mayoritas penduduknya adalah muslim atau non muslim. Sementara itu untuk Negara-negara yang menerapkan hukum Islam dan keamananya berada di bawah tangan Islam, maka tidak diberlakukan politik luar negeri melainkan dianggap sebagai politik dalam negeri—sekalipun wilayahnya terpisah dari Negara dan memiliki otonomi tersendiri.

Pandangan negara Barat terhadap negera lain adalah bergantung kepada kepentingan nasional (national interest) yang dapat diraih dalam hubungannya terhadap negera tersebut.

Dalam konteks dunia internasional, peristiwa ledakan bom di gedung WTC 11 September 2001 yang lalu cukup memberikan pengaruh pada percaturan politik internasional. Ditandai dengan serangan besar-besaran oleh Amerika Serikat terhadap Afghanistan yang pada akhirnya menumbangkan pemerintahan Taliban, disusul dengan penghancuran Rezim Sadam Husein di Irak. Hal ini bisa jadi tidak akan berhenti sampai disana karena Amerika Serikat telah mencanangkan Perang Salib Crussade melawan terorisme yang disebutnya sebagai setan-setan. Negeri Paman Sam itu, kemudian memberikan dua pilihan kepada dunia: ikut Amerika Serikat melawan terorisme atau (kalau tidak) menjadi pendukung terorisme. Dan jadilah urusan menggayang terorisme ini menjadi urusan bersama dunia. Tak pelak lagi, hampir seluruh pemimpin seluruh dunia tunduk kepada tuntutan Amerika Serikat termasuk penguasa di negeri-negeri Islam.

Hubungan dengan Lembaga Internasional

Dalam pandangan Barat, studi hubungan internasional yang mengacu pada semua bentuk interaksi antara aktor-aktor, baik yang bersifat pemerintah maupun non-pemerintah, salah satu bidang kajiannya adalah kajian mengenai organisasi internasional. Organisasi yang merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional ini merupakan wadah atau sarana untuk melaksanakan kerjasama internasional (Rudi, 1993:1).

Untuk memahami keberadaan organisasi internasional, Quincy Wright mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu seni untuk menciptakan dan mengurus masyarakat luas yang terdiri dari negara-negara merdeka untuk memudahkan kerjasama dalam mencapai tujuan dan keputusan bersama serta merupakan wadah atau tempat kerjasama hubungan internasional (Kartasasmita, 1987:3).

Konsep dan praktek dasar yang menjadi inti organisasi internasional modern termasuk diplomasi, perdagangan, kesejahteraan, aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan, penyelesaian perdamaian, pengembangan hukum internasional, kerjasama ekonomi internasional, kerjasama sosial internasional, komunikasi dunia, keamanan bersama, administrasi internasional, dan gerakan-gerakan dalam pemerintahan dunia. Pandangan-pandangan dan praktek-praktek ini telah ada beberapa ratus tahun sebelumnya, namun pada dasarnya mereka membentuk dasar bagi keberlangsungan suatu organisasi internasional dan bagi kebangkitan setiap organisasi pada masa yang akan datang (Bennet, 1984:4).

Dalam lingkup hubungan internasional, organisasi internasional sebagai salah satu aktor, dapat menjalankan beberapa peranan penting, dengan fungsi utamanya adalah untuk menyediakan sarana kerjasama antarnegara yang akan dapat memberikan keuntungan bagi banyak negara. Fungsi lainnya adalah menyediakan saluran-saluran komunikasi antarpemerintah sehingga wilayah akomodasinya dapat dimasuki dan dijelajahi secara mudah apabila timbul masalah (Bennet, 1984:3).

Kerjasama yang dijalin melalui suatu organisasi internasional meliputi kerjasama pertahanan-keamanan (colective security) yang adakalanya disebut “institutionalize alliance” seperti NATO, dan kerjasama fungsional (funcional cooperation) diberbagai bidang seperti ekonomi, politik, sosial-budaya, atau mencakup semua bidang kehidupan. organisasi yang didasarkan pada kerjasama fungsional ini misalnya PBB, ASEAN, OKI, OPEC, dan lain-lain (Rudi, 1993:7-8)

Dalam pandangan barat, kerjasama internasional dalam masyarakat internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat dari adanya hubungan interdependensi (saling ketergantungan) dan bertambah kompleksnya kehidupan manusia dalam masyarakat internasional.

Dalam hubungannya dengan lembaga internasional, Khilafah tidak boleh ikut dalam lembaga internasional maupun regional yang tidak berasaskan Islam atau menerapkan hukum selain Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat politik negara besar, khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka. Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum muslim dan negara muslim. Oleh karena itu, secara syar’iy hal ini tidak diperbolehkan. [H. Budi Mulyana, SIP]

Leave a comment