Politik Ekonomi Negara Khilafah

Paradigma Politik Ekonomi Islam

Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh negara (Khilafah Islamiyah) untuk menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Politik ekonomi Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang untuk menikmati peningkatan taraf hidup tersebut.

Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat

Sistem Ekonomi Islam berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam (Muslim dan non-Muslim) secara menyeluruh. Barang-barang berupa pangan, sandang, dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233; QS at-Thalaq [65]: 6). Keamanan, kesehatan, dan pendidikan juga merupakan tiga kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya.

Menyangkut keamanan, tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya—terutama aktivitas yang wajib seperti ibadah wajib, bekerja, bermuamalat secara Islami, termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam—tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Jadi, jelas harus ada jaminan keamanan bagi setiap warga negara.

Menyangkut kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktivitas sehari-hari tanpa adanya kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya. Artinya, kesehatan juga termasuk kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap manusia.

Demikian juga dengan pendidikan. Tidak mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, apalagi di akhirat, kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapainya. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui pendidikan.

Strategi Politik Ekonomi Islam

Secara garis besar, strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan, pendidikan). Pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang dijamin dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni pemenuhan langsung oleh negara.
Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang

Pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, yaitu:

(1) Negara memerintahkan kepada setiap kepala keluarga bekerja mencari nafkah. (Lihat: QS al-Mulk: [67] 15; QS al-Jumu‘ah [62]: 10; QS al-Jatsyiah [45]: 12).

(2) Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan.

(3) Negara memerintahkan setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

(4) Negara mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan.

(5) Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.
Bekerja menurut Islam adalah aktivitas yang sangat mulia. Islam telah mengarahkan bahwa motif dan alasan bekerja adalah dalam rangka mencari karunia Allah Swt. Kewajiban memenuhi kebutuhan pokok telah ditetapkan oleh syariat atas orang-orang tertentu: suami atas istri; ayah atas anak-anaknya; anak atas orangtuanya yang tidak mampu. (Lihat: QS ath-Thalaq [65]: 6; QS al-Baqarah [2]: 233; QS an-Nisa’ [4]: 36).

Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun tidak memperoleh pekerjaan, sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawabnya. Rasullah saw. bersabda:

Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya. (QS al-Baqarah [2]: 233).

Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fikih Islam.

Jika seseorang tidak mampu memberikan nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, dan ia pun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih ke Baitul Mal (Negara). Namun, sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang Muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup.

Meskipun demikian, bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara agar jangan sampai tetangganya kelaparan. Untuk jangka panjang, negaralah yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Negara dapat saja memberikan nafkah Baitul Mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syariat, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya. (Lihat: QS at-Taubah [9]: 103).

Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan syariat Islam, maka dalam tindakan yang konkret, Umar bin al-Khaththab pernah membangun suatu rumah yang diberi nama “Dâr ad-Daqîq” (Rumah Tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang ditujukan untuk membantu para musafir memenuhi kebutuhannya. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicapai oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.

Sistem Ekonomi Islam yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga atas mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam).

Orang-orang non-Muslim telah merasakan bagaimana pengaturan dan jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan pokok di bawah naungan daulah Islamiyah. Diceritakan dalam kitab Al-Kharâj karangan Imam Abu Yusuf, bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab r.a., pernah melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya, “Apakah ada yang bisa saya bantu?” Orang Yahudi itu menjawab, bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. “Usiaku sudah lanjut,” katanya. Amirul Mukminin berkata, “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya perlakuan kami. Karena kami mengambil sesuatu darimu di saat mudamu dan kami biarkan kamu di saat tuamu.”

Setelah kejadian itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Mal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.

Pada masa Khalid bin Walid, terhadap penduduk al-Hairah yang beragama Nasrani dan merupakan ahludz dzimmah, diterapkan suatu kebijakan, bahwa jika ada orang tua yang lemah, tidak mampu bekerja, tertimpa kemalangan, atau jatuh miskin hingga kaummya memberikan sedekah kepadanya, maka ia dibebaskan dari tanggungan jizyah dan ia menjadi tanggungan Baitul Mal, selama ia tinggal di Darul Islam.

Jika Baitul Mal, yang merupakan kas negara dalam keadaan krisis, tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, maka kewajiban itu beralih kepada seluruh kaum Muslim. Kaum Muslim dapat dikenai pajak (dharîbah). Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang kaya dan tidak boleh diambil dari orang non-Muslim.

Rasulullah saw. telah mengambil sebagian harta milik orang-orang kaya Bani Nadhir dan membagi-bagikannya kepada sahabat Muhajirin yang fakir. Itu dilaksanakan oleh beliau sebagai realisasi pengamalan perintah Allah Swt. dam dua ayat terdahulu (QS al-Baqarah [2]: 29 dan QS al-Hasyr [59]: 7).

Pengambilan pajak itu semata-mata hanya dilakukan negara jika Baitul Mal tengah dilanda krisis.

Itulah hukum-hukum syariat Islam, yang memberikan alternatif pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia, yang akan mencegah setiap individu masyarakat—yang sedang dililit kesulitan hidup—memenuhi kebutuhan mereka dengan cara menghinakan diri (meminta-minta.

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa

Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan), pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, pendidikan, dan kesehatan) dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri‘âyah asy-syu’ûn) dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara (Khilafah Islamiyah) berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat. Seluruh biaya yang diperlukan ditanggung oleh Baitul Mal.

Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan jalan menerapkan hudûd (qishâsh, potong tangan bagi pencuri, diyat [denda], dsb). yang tegas kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta orang lain.

Dalam hubungannya dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menghadiahkan dokternya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw., dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan seluruh rakyat, yang bertugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa hadiah semacam itu bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kaum Muslim atau untuk negara.

Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal. Pernah serombongan orang berjumlah 8 orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama Zhi Jadr. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali.

Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Dalam buku Târîkh al-Islam as-Siyâsî diceritakan, bahwa Sayyidina Umar r.a. pernah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan para wali (pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik secara khusus pernah memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra.

Demikian halnya dengan masalah pendidikan. Ia menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat.

Rasulullah saw. pernah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan Perang Badar. Beliau mengatakan, bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan jika seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.

Dengan tindakan tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau memberikan upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.

Ad-Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari al-Wadhiyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab, mereka digaji sebesar 15 dinar setiap bulannya (1 dinar = 4,25 gram emas).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan; juga keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syariat Islam. [Muhammad Riza Rosadi]

Leave a comment